HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Dinas Pendidikan Dikepung Diktator: Bupati Harus Bertindak!


IDI.ZTV — Angin perubahan yang diharapkan dari reformasi birokrasi pendidikan di Aceh Timur kini berbalik arah. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) yang seharusnya menjadi jantung kemajuan intelektual daerah justru tersandera oleh gaya kepemimpinan otoriter. Bustami, Pelaksana Tugas (Plt) Kadisdikbud Aceh Timur, disebut-sebut telah menjalankan kekuasaannya layaknya seorang diktator. Satu arah, satu suara, tanpa ruang kritik.

Belum genap setengah tahun menjabat, gelombang ketidakpuasan mulai membanjiri ruang-ruang diskusi ASN, aktivis, hingga para jurnalis. Bustami dituding menggunakan jabatan sebagai alat kekuasaan pribadi, bukan pelayanan publik. Kasus pemindahan sepihak terhadap seorang ASN berinisial MW menjadi bukti nyata dari wajah kediktatoran yang kini membayangi Disdikbud.

MW adalah sosok ASN yang dikenal aktif dan vokal. Ia mempertanyakan keberadaan seorang pegawai yang mangkir kerja selama hampir dua tahun. Namun bukannya mendapat dukungan untuk menegakkan kedisiplinan, MW justru dihadiahi mutasi ke Kecamatan Sungai Raya. Sementara sang pegawai ‘hantu’ yang dua tahun tak berkantor tetap duduk manis di posisi lama—tanpa sanksi, tanpa teguran, tanpa rasa malu.

Sumber internal menyebut bahwa oknum yang mangkir itu merupakan ‘orang dalam’ Bustami. Jika benar, maka yang terjadi bukan lagi pelanggaran birokrasi, melainkan nepotisme terang-terangan. Disdikbud telah berubah dari lembaga pendidikan menjadi panggung sandiwara kuasa, tempat kesetiaan dibayar mahal dan kejujuran dibuang ke parit.

“Ini pembusukan dari dalam. Siapa yang berani bersuara, langsung dicap musuh,” ujar salah satu ASN senior yang kami temui, dengan wajah penuh cemas. Ia meminta namanya dirahasiakan, karena ia tahu: suara kebenaran di lingkungan Disdikbud saat ini bisa menjadi tiket cepat menuju pembuangan birokrasi.

Bustami pun disebut alergi terhadap wartawan. Konfirmasi yang dikirimkan berkali-kali oleh media ini tak pernah dijawab. Telepon tak diangkat, pesan tak dibalas. Jangankan memberi klarifikasi, menyapa pun tidak. Bagi Bustami, tampaknya media adalah musuh yang wajib dihindari. Lalu untuk siapa ia bekerja jika bukan untuk rakyat yang ingin tahu kebenaran?

Sikap anti-transparansi ini menambah panjang daftar kebobrokan moral birokrasi pendidikan Aceh Timur. Media sebagai pilar demokrasi dianggap gangguan, bukan mitra. ASN yang kritis dicurigai, bukan diapresiasi. Rakyat yang bertanya dianggap lancang. Ini bukan hanya kediktatoran administratif—ini adalah upaya pembungkaman secara sistemik.

Yang lebih menyedihkan, gaya otoriter Bustami justru seolah tak tersentuh. Banyak pihak meyakini bahwa kedekatannya dengan Bupati Iskandar Usman Al-Farlaky menjadi tameng yang ampuh. Sebuah relasi yang jika tak segera diluruskan, bisa menjadi racun bagi reputasi pemerintahan Aceh Timur yang baru tumbuh mekar.

Padahal publik menaruh harapan besar kepada Iskandar. Putra Peureulak ini dikenal cerdas, muda, dan progresif. Langkah-langkah efisiensinya di bidang anggaran dan pembangunan menuai banyak pujian. Tapi satu titik hitam di lingkaran dalam bisa menjadi noda yang merusak segalanya.

Sejumlah aktivis lintas organisasi mulai bergerak. Dalam diskusi-diskusi tertutup, nama Bustami kian sering disebut sebagai ancaman bagi stabilitas birokrasi. Mereka menyebut gaya kepemimpinannya sebagai “kanker yang menyebar di dalam sistem.” Jika tidak dipotong sekarang, maka penyakitnya akan melumpuhkan seluruh tubuh birokrasi pendidikan.

Pendidikan bukanlah ladang untuk memupuk arogansi. Ia adalah tempat subur bagi benih-benih masa depan. Ketika seorang kepala dinas justru menjadikannya sebagai panggung tirani, maka yang lahir bukan generasi emas, tapi generasi takut bicara.

Kini publik tidak butuh klarifikasi manis. Mereka ingin tindakan nyata. Bupati Iskandar tidak boleh tinggal diam. Jika ingin membuktikan bahwa dirinya adalah pemimpin berani dan berpihak kepada rakyat, maka ini saatnya.

Evaluasi menyeluruh terhadap Plt Kadisdikbud adalah harga mati. Jangan biarkan kekuasaan di sektor pendidikan dijalankan oleh tangan yang kaku dan pikiran yang sempit. Jangan biarkan ASN hidup dalam ketakutan, guru kehilangan semangat, dan anak-anak tumbuh di bawah bayang-bayang institusi yang korup moral.

Dan jika benar bahwa Bustami menjabat hanya karena kedekatan politik, maka itu harus dihentikan. Aceh Timur tidak kekurangan orang cerdas dan bersih untuk memimpin sektor pendidikan. Kita tidak butuh diktator baru di zaman reformasi.

Sampai berita ini disusun, upaya konfirmasi yang kami lakukan kepada Bustami belum pernah mendapat balasan. Ia memilih bungkam. Sikap diamnya bukan sikap bijak, melainkan tanda bahwa kritik-kritik publik tak dianggap penting.

Tapi publik tak akan diam. Jika suara ASN dibungkam, jika media disumbat, maka rakyat akan bersuara. Karena kebenaran akan menemukan jalannya. Dan ketika rakyat sudah muak, maka jabatan sekuat apa pun tak akan mampu menyelamatkan.

"Jabatan boleh sementara, tapi dosa kepada publik akan tercatat selamanya," ingat salah seorang mantan pejabat yang mulai insaf. 

(..........)
Posting Komentar