Aceh dan Indonesia : Dari Tsunami, Perdamaian ke Ujian Kemanusiaan
Banda Aceh.ZTV - Aceh dan Indonesia dipersatukan oleh tragedi dan kesadaran sejarah. Tsunami 26 Desember 2004 bukan hanya bencana kemanusiaan, tetapi titik balik lahirnya perdamaian melalui MoU Helsinki—sebuah janji politik dan moral bahwa senjata digantikan oleh keadilan, dan konflik diselesaikan dengan kehadiran negara yang bertanggung jawab.
Hari ini, saat banjir dan krisis kemanusiaan kembali melanda Aceh, relasi Aceh–Indonesia kembali diuji. Bencana ini bukan sekadar urusan alam, melainkan cermin komitmen negara terhadap perdamaian yang pernah dirayakan dunia. Perdamaian tidak hidup dari seremoni dan slogan, tetapi dari keberpihakan nyata ketika rakyat berada pada kondisi paling rentan.
Zultri Ramadhan, Ketua Muda Seudang Banda Aceh, menegaskan bahwa kehadiran negara dalam situasi bencana adalah ukuran paling jujur dari keseriusan merawat perdamaian. Dalam pandangannya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh secara eksplisit meletakkan tanggung jawab khusus pemerintah pusat terhadap Aceh, terutama dalam kondisi darurat dan bencana.
Sejalan dengan itu, MoU Helsinki merupakan ikrar sejarah bahwa Aceh tidak akan ditinggalkan dan tidak dibiarkan menghadapi krisis sendirian. Jika negara hadir secara penuh—melalui penetapan status bencana nasional, percepatan bantuan, dan pemulihan yang adil—maka perdamaian dirawat. Namun jika negara lalai, maka yang terancam bukan hanya keselamatan rakyat, tetapi juga kepercayaan yang dibangun dari puing-puing tsunami dan konflik.
Aceh tidak menuntut keistimewaan. Aceh hanya menagih janji.